Rabu, 18 Desember 2013

ANALISIS PENGARUH AFTA TERHADAP INDUSTRI SEKTOR RILL DAN SEKTOR TENAGA KERJA

ANALISIS PENGARUH AFTA TERHADAP INDUSTRI SEKTOR RILL DAN SEKTOR TENAGA KERJA

Indonesia bersama negara anggota ASEAN lainnya telah menandatangani Deklarasi ASEAN pada 20 November 2007 lalu di Singapura guna menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 mendatang. Namun, sebelum proses tersebut dilakukan  sebuah kesepakatan ASEAN Free Trade Area (AFTA) dilaksanakan yang ditandatangani di Singapura pada 28 Januari 1992.
 AFTA di bentuk dengan tujuan agar menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN memiliki daya saing kuat di pasar global, dan menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI) yaitu penanaman modal asing yang direpresentasikan di dalam asset riil seperti: tanah, bangunan, peralatan dan teknologi, serta meningkatkan perdagangan antar negara anggota ASEAN.
Dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, diberlakukanlah penurunan tarif barang perdagangan dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0–5 %) maupun hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN melalui skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area ( CEPT-AFTA) dimana selain penurunan tarif juga dimaksudkan untuk penghapusan pembatasan kuantitatif (kouta) dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Pemberlakuan AFTA secara penuh pada 1 Januari 2003 ditujukan kepada enam Negara yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Diharapkan melalui kesepakatan tersebut seluruh Negara anggota dapat mencapai kesejahteraan seiring dengan peningkatan kegiatan perdagangan dalam AFTA.
Namun, bagaimanakah pengaruh AFTA terhadap industri sektor riil dan sektor tenaga kerja bagi negara Indonesia? Atas dasar itu, berikut dilakukan kajian analisis jurnal singkat yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh AFTA terhadap industri sektor riil dan sektor tenaga kerja bagi negara Indonesia.
Inti dari CEPT dalam persetujuan AFTA adalah pengurangan berbagai tarif impor dan penghapusan hambatan non-tarif atas perdagangan dalam lingkup ASEAN. Hal ini membawa implikasi bagi Indonesia sendiri. Pertama, AFTA merupakan kerjasama yang menguntungkan sebab AFTA merupakan peluang bagi kegiatan eksport komoditas pertanian yang selama ini dihasilkan di Indonesia dan sekaligus menjadi suatu tantangan tersendiri untuk menghasilkan komoditas yang kompetitif dengan pasar regional AFTA sendiri. Peningkatan daya saing ini akan mendorong perekonomian Indonesia untuk semakin berkembang. AFTA juga merangsang para pelaku usaha di Indonesia untuk menghasilkan barang yang berkualitas sehingga dapat bersaing dengan barang-barang yang dihasilkan oleh negara-negara ASEAN lainnya.
AFTA juga dianggap dapat memberikan peluang bagi pengusaha kecil dan menengah di Indonesia untuk mengekspor barangnya. Hal ini membuat para pelaku usaha tersebut mendapatkan pasar untuk melempar produk-produknya selain di pasar dalam negeri. Adanya kesempatan besar bagi para pelaku usaha di Indonesia untuk lebih meningkatkan produk barangnya dari segi mutu juga mendorong kesadaran para pengusaha-pengusaha di Indonesia untuk memiliki daya saing usaha yang kuat.
Selain itu para pengusaha/produsen Indonesia akan lebih rendah mengeluarkan biaya produksi, dimana diketahui bahwa beberapa produk Indonesia ada juga yang membutuhkan barang modal dan bahan baku/penolong dari negara anggota ASEAN lainnya sehingga dengan adanya pembebasan tarif akan lebih meringankan pengeluaran biaya produksi yang juga akan secara bersamaan mengurangi biaya pemasaran, sehingga harga produk Indonesia tersebut dapat lebih ditekan yang akhirnya dengan kualitas yang baik produk Indonesia dapat dipasarkan dengan harga terjangkau yang kemudian akan memberikan keuntungan sebab para konsumen akan lebih tertarik dengan nilai harga yang ditawarkan.
Sehingga menyebabkan pengusaha/produsen Indonesia mengalami keuntungan hal ini menyebabkan upah mengalami kenaikan sehingga menaikkan pasar tenaga kerja sesuai dengan kurva penwaran tenaga kerja yakni seseorang akan memasuki pasar kerja jika upah yang ditawarkan melebihi dari upah reservasi. Pada tingkat upah diatas upah reservasi, kurva penawaran tenaga kerja memiliki slope positif sampai pada titik tertentu.
Bukan hanya itu implikasi positif lainnya pada sektor tenaga kerja di Indonesia yakni terbukanya kerjasama dalam menjalankan bisnis dengan beraliansi bersama pelaku bisnis di negara anggota ASEAN lainnya. Melalui aliansi ini, para pebisnis Indonesia akan lebih memperluas jaringannya, yang kelak akan mengantarkan mereka tidak hanya berbisnis di area ASEAN saja tetapi juga dapat menjadi batu loncatan ke pasar global, hal ini akan sangat bermanfaat untuk prosuden-produsen rumahan, yang akan lebih meningkatkan kesejahteraan para pekerjanya serta memberikan keuntungan bagi negara dimana akan terbentuk pemahaman di benak konsumen luar negeri bahwa produk-produk yang dihasilkan oleh pasar domestik Indonesia memiliki kualitas internasional dengan penanganan yang berstandar tinggi.

AFTA bagaikan pisau bermata ganda bagi Indonesia. Selain dapat memberikan keuntungan yang besar namun dapat pula mencengkeram dan memerasa tanpa henti hingga akan berbalik memberikan kerugian jika tanpa maksimal dan dukungan penuh oleh setiap pihak yang berpengaruh di dalamnya.
Selain manfaat  yang didapatkan dari sisi positif pengaruh AFTA. Munculnya AFTA dianggap dapat memunculkan  persaingan yang tidak seimbang bagi negara anggota ASEAN itu sendiri. Pasalnya,  Penurunan tarif barang bagi barang yang masuk dari negara anggota ASEAN menimbulkan kerugian. Sebab, Ketidaksiapan pasar industri lokal juga yang menjadi kendala bagi berjalannya AFTA dan penerapan penurunan tarif.  Seperti negara-negara anggota ASEAN lainnya,
 Indonesia pun mengalami hal yang sama. Daya saing barang yang diperdagangkan kurang memenuhi standar yang ditetapkan, hal ini mengakibatkan banyaknya industri-industri kecil dan menengah di Indonesia mengalami kerugian yang besar. Persaingan produk dalam negeri dengan produk yang masuk kedalam negeri membuat para pengusaha harus bisa meningkatkan kualitas barang produksinya. Hal tersebut tidaklah mudah dengan keterbatasan modal yang dimiliki oleh para pengusaha-pengusaha kecil dan menengah. Belum lagi keterbatasan dari segi infrastruktur di Indonesia, keterbatasan tekhnologi yang menunjang produksi para pengusaha kecil dan menengah di Indonesia juga menjadi suatu masalah tersendiri. Dalam AFTA para pengusaha dipaksa untuk memiliki daya saing yang tinggi, agar nantinya pengusaha-pengusaha dalam negeri ini dapat mandiri.
Hal ini terlihat dari banyaknya para pengusaha yang tergolong pengusaha kecil dan menengah di Indonesia mengalami kerugian besar dan produksinya berhenti dikarenakan kualitas barang mereka kalah dibandingkan dengan barang-barang yang masuk dari Vietnam dan Cina. Contohnya industri rotan di Indonesia, biasanya para pengusaha rota hanya mengirim berupa rotan yang belum diolah sehingga merugikan pihak pengusaha rotan dalam negeri, sedangkan rotan yang masuk dari Cina dan Vietnam biasanya telah diolah menjadi suatu produk yang memiliki nilai jual lebih tinggi. Dari permasalah tersebut seharusnya pemerintah sudah memiliki langkah yang pasti untuk melindungi para pengusaha rotan, caranya dengan mengekspor produk rotan bukan sekedar bahan dasarnya saja tapi berupa rotan yang telah di olah menjadi suatu produk yang harga jualnya lebih tinggi, sama dengan yang diekspor Vietnam dan Cina. Jika sokongan pemerintah tidak penuh dan maksimal dalam program AFTA sudah dapat di prediksikan para pengusaha besar, menengah ataupun kecil mengalami kerugian bahkan gulung tikar dikarenakan produknya kalah bersaing dengan produk dengan negara lain sebab faktanya produk-produk ekspor andalan negara anggota AFTA secara umum lebih bersifat ‘subtitutif’ daripada ‘komplementer’, dalam arti produk-produk yang dihasilkan cenderung serupa sehingga sulit diharapkan agar masing-masing anggota dapat menyerap produk mereka satu sama lain dan juga memiliki nila tambah yang lebih tinggi. Bahkan di pasar produk-produk mereka akan bersaing dan dapat mematikan produk yang tidak unggul secara komparatif. Sehingga menyebabkan banyak tejadi PHK dan angka pengangguran naik dikarenakan ketidakmampuan perusahaan dalam membayar upah tenaga kerja hal ini menyebabkan  penawaran tenaga kerja mengalami penurunan.
Table 1
Indeks Keunggulan Komparatif Produk Negara ASEAN



Hal ini dibuktikan dengan Tabel 1 menunjukkan Index keunggulan komparatif produk ekspor andalan anggota-anggota ASEAN yang dinyatakan dalam skema CEPT. Dalam tabel tampak bahwa Indonesia tidak cukup dominan dalam hal keunggulan komparatif produk-produk ekspornya, bahkan dibandingkan dengan Kamboja yang terhitung sebagai pemain baru dalam transaksi perdagangan regional. Dari seluruh produk unggulan, hanya produk kayu lapis dan plywood yang tidak tersaingi oleh anggota lainnya dengan index 37, disusul kemudian oleh produk karet alam dimana Indonesia hanya menduduki tempat ketiga setelah Kamboja dan Thailand. Prestasi peningkatan volume ekspor Indonesia pada tahun 2000 seperti diuraikan di atas tiada lain lebih merupakan hasil transaksi perdagangan Indonesia dengan pihak di luar ASEAN, khususnya dengan Jepang dan Amerika Serikat. Sementara itu, dalam transaksi perdagangan di kawasan, sepertinya Indonesia tidak bisa berharap terlalu banyak. Terlebih jika mengingat bahwa produk kayu lapis dan plywood berbahan dasar kayu hutan, dan bukan rahasia lagi bahwa luas hutan di Indonesia mengalami penyusutan yang sangat drastis dari tahun ke tahun. Dengan kata lain, secara ekonomi produk tersebut tidak akan dapat dijadikan produk andalan dalam jangka menengah apalagi jangka panjang, mengingat semakin langkanya bahan baku kayu.
Seperti terlihat pada tabel, dari seluruh anggota AFTA hanya Singapura yang relatif memiliki produk unggulan berbeda, yaitu di sektor-sektor menyangkut penggunaan teknologi elektronik dan informatika, sisanya lebih menekankan pada pertanian dan hasil alam. Pertanyaanya kemudian adalah, bagaimana agar di dalam pelaksanaan AFTA negara anggota yang kurang memiliki variasi produk unggulan tidak tenggelam dalam persaingan, dimana hal tersebut akan bertentangan dengan tujuan awal dibentuknya organisasi ini. Tantangan inilah diantara yang harus dijawab oleh AFTA dan anggota-anggotanya, khususnya Indonesia. Apabila pemerintah mampu memecahkan persoalan ini dan dapat secara jeli memetakan dan kemudian memanfaatkan pasar regional ASEAN yang saat ini mencapai lebih dari setengah milyar jiwa, terdapat dua peluang besar terbuka bagi Indonesia terkait dengan perdagangan, yaitu kesempatan untuk fully-recovered pasca krisis ekonomi; dan yang kedua adalah kesempatan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang stabil dan signifikan sebagaimana yang terjadi pada periode tahun 1970an hingga menjelang krisis ekonomi 1997.
            Dengan pernyataan lain, dapat dikatakan bahwa AFTA dapat memberikan pengaruh  yang positif dan menguntungkan bagi Indonesia, jika terdapat sinergi kerja sama yang baik dan penuh antara para pengusaha dan pemerintah Indonesia. Sebab,   kerja sama dalam menemukan  solusi yang jelas bagi para pengusaha di Indonesia akan membantu Indonesia dalam menghadapi pasar bebas jenis apapun yang diberlakukan yakni sebagian kecilnya adalah pemerintah memberikan modal bagi peningkatan kualitas produksi dan standar mutu barang.  Sehingga, Indonesia pun dapat bersaing dalam peningkatan kualitas barang produksinya dengan produk-produk lain yang masuk ke pasar dalam negeri maupun luar negeri region ASEAN.


Referensi :

Tidak ada komentar :

Posting Komentar