ANALISIS
PENGARUH AFTA TERHADAP INDUSTRI SEKTOR RILL DAN SEKTOR TENAGA KERJA
Indonesia bersama negara anggota
ASEAN lainnya telah menandatangani Deklarasi ASEAN pada 20 November 2007 lalu
di Singapura guna menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015
mendatang. Namun, sebelum proses tersebut dilakukan sebuah kesepakatan ASEAN Free Trade Area
(AFTA) dilaksanakan yang ditandatangani di Singapura pada 28 Januari 1992.
AFTA di bentuk dengan tujuan agar menjadikan
kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN
memiliki daya saing kuat di pasar global, dan menarik lebih banyak Foreign
Direct Investment (FDI) yaitu penanaman modal asing yang direpresentasikan di
dalam asset riil seperti: tanah, bangunan, peralatan dan teknologi, serta meningkatkan
perdagangan antar negara anggota ASEAN.
Dalam
mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, diberlakukanlah penurunan tarif barang
perdagangan dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0–5 %) maupun hambatan
non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN melalui skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area (
CEPT-AFTA) dimana selain penurunan tarif juga dimaksudkan untuk penghapusan
pembatasan kuantitatif (kouta) dan hambatan-hambatan non tarif lainnya.
Pemberlakuan AFTA secara penuh pada 1 Januari 2003 ditujukan kepada enam Negara
yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand.
Diharapkan melalui kesepakatan tersebut seluruh Negara anggota dapat mencapai
kesejahteraan seiring dengan peningkatan kegiatan perdagangan dalam AFTA.
Namun,
bagaimanakah pengaruh AFTA terhadap industri sektor riil dan sektor tenaga
kerja bagi negara Indonesia? Atas dasar itu, berikut dilakukan kajian analisis
jurnal singkat yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh AFTA terhadap industri
sektor riil dan sektor tenaga kerja bagi negara Indonesia.
Inti dari CEPT dalam persetujuan AFTA adalah
pengurangan berbagai tarif impor dan penghapusan hambatan non-tarif atas
perdagangan dalam lingkup ASEAN. Hal ini membawa implikasi bagi Indonesia sendiri. Pertama, AFTA merupakan kerjasama yang menguntungkan sebab AFTA merupakan peluang bagi kegiatan eksport
komoditas pertanian yang selama ini dihasilkan di Indonesia dan sekaligus menjadi suatu tantangan
tersendiri untuk menghasilkan komoditas yang kompetitif dengan pasar regional AFTA sendiri. Peningkatan
daya saing ini akan mendorong perekonomian Indonesia untuk semakin berkembang.
AFTA juga merangsang para pelaku usaha di Indonesia untuk menghasilkan barang
yang berkualitas sehingga dapat bersaing dengan barang-barang yang dihasilkan
oleh negara-negara ASEAN lainnya.
AFTA juga dianggap dapat memberikan
peluang bagi pengusaha kecil dan menengah di Indonesia untuk mengekspor
barangnya. Hal ini membuat para pelaku usaha tersebut mendapatkan pasar untuk
melempar produk-produknya selain di pasar dalam negeri. Adanya kesempatan besar
bagi para pelaku usaha di Indonesia untuk lebih meningkatkan produk barangnya
dari segi mutu juga mendorong kesadaran para pengusaha-pengusaha di Indonesia
untuk memiliki daya saing usaha yang kuat.
Selain itu para
pengusaha/produsen Indonesia akan lebih rendah mengeluarkan biaya produksi,
dimana diketahui bahwa beberapa produk Indonesia ada juga yang membutuhkan
barang modal dan bahan baku/penolong dari negara anggota ASEAN lainnya sehingga
dengan adanya pembebasan tarif akan lebih meringankan pengeluaran biaya
produksi yang juga akan secara bersamaan mengurangi biaya pemasaran, sehingga
harga produk Indonesia tersebut dapat lebih ditekan yang akhirnya dengan
kualitas yang baik produk Indonesia dapat dipasarkan dengan harga terjangkau
yang kemudian akan memberikan keuntungan sebab para konsumen akan lebih
tertarik dengan nilai harga yang ditawarkan.
Sehingga menyebabkan pengusaha/produsen Indonesia
mengalami keuntungan hal ini menyebabkan upah mengalami kenaikan sehingga
menaikkan pasar tenaga kerja sesuai dengan kurva penwaran tenaga kerja yakni seseorang
akan memasuki pasar kerja jika upah yang ditawarkan melebihi dari upah
reservasi. Pada tingkat upah
diatas upah reservasi, kurva penawaran tenaga kerja memiliki slope positif
sampai pada titik tertentu.
Bukan hanya itu
implikasi positif lainnya pada sektor tenaga kerja di Indonesia yakni terbukanya
kerjasama dalam menjalankan bisnis dengan beraliansi bersama pelaku bisnis di negara
anggota ASEAN lainnya. Melalui aliansi ini, para pebisnis Indonesia akan lebih
memperluas jaringannya, yang kelak akan mengantarkan mereka tidak hanya
berbisnis di area ASEAN saja tetapi juga dapat menjadi batu loncatan ke pasar
global, hal ini akan sangat bermanfaat untuk prosuden-produsen rumahan, yang
akan lebih meningkatkan kesejahteraan para pekerjanya serta memberikan
keuntungan bagi negara dimana akan terbentuk pemahaman di benak konsumen luar
negeri bahwa produk-produk yang dihasilkan oleh pasar domestik Indonesia
memiliki kualitas internasional dengan penanganan yang berstandar tinggi.
AFTA bagaikan pisau bermata ganda bagi Indonesia. Selain dapat memberikan
keuntungan yang besar namun dapat pula mencengkeram dan memerasa tanpa henti
hingga akan berbalik memberikan kerugian jika tanpa maksimal dan dukungan penuh
oleh setiap pihak yang berpengaruh di dalamnya.
Selain manfaat yang didapatkan dari
sisi positif pengaruh AFTA. Munculnya AFTA dianggap dapat memunculkan persaingan yang tidak seimbang bagi negara
anggota ASEAN itu sendiri. Pasalnya,
Penurunan tarif barang bagi barang yang masuk dari negara anggota ASEAN
menimbulkan kerugian. Sebab, Ketidaksiapan pasar industri lokal juga yang
menjadi kendala bagi berjalannya AFTA dan penerapan penurunan tarif. Seperti negara-negara anggota ASEAN lainnya,
Indonesia pun mengalami hal yang sama. Daya
saing barang yang diperdagangkan kurang memenuhi standar yang ditetapkan, hal
ini mengakibatkan banyaknya industri-industri kecil dan menengah di Indonesia
mengalami kerugian yang besar. Persaingan produk dalam negeri dengan produk
yang masuk kedalam negeri membuat para pengusaha harus bisa meningkatkan
kualitas barang produksinya. Hal tersebut tidaklah mudah dengan keterbatasan
modal yang dimiliki oleh para pengusaha-pengusaha kecil dan menengah. Belum
lagi keterbatasan dari segi infrastruktur di Indonesia, keterbatasan tekhnologi
yang menunjang produksi para pengusaha kecil dan menengah di Indonesia juga
menjadi suatu masalah tersendiri. Dalam AFTA para pengusaha dipaksa untuk
memiliki daya saing yang tinggi, agar nantinya pengusaha-pengusaha dalam negeri
ini dapat mandiri.
Hal ini
terlihat dari banyaknya para pengusaha yang tergolong pengusaha kecil dan
menengah di Indonesia mengalami kerugian besar dan produksinya berhenti
dikarenakan kualitas barang mereka kalah dibandingkan dengan barang-barang yang
masuk dari Vietnam dan Cina. Contohnya industri rotan di Indonesia, biasanya
para pengusaha rota hanya mengirim berupa rotan yang belum diolah sehingga merugikan
pihak pengusaha rotan dalam negeri, sedangkan rotan yang masuk dari Cina dan
Vietnam biasanya telah diolah menjadi suatu produk yang memiliki nilai jual
lebih tinggi. Dari permasalah tersebut seharusnya pemerintah sudah memiliki
langkah yang pasti untuk melindungi para pengusaha rotan, caranya dengan
mengekspor produk rotan bukan sekedar bahan dasarnya saja tapi berupa rotan
yang telah di olah menjadi suatu produk yang harga jualnya lebih tinggi, sama
dengan yang diekspor Vietnam dan Cina. Jika sokongan pemerintah tidak penuh dan
maksimal dalam program AFTA sudah dapat di prediksikan para pengusaha besar,
menengah ataupun kecil mengalami kerugian bahkan gulung tikar dikarenakan
produknya kalah bersaing dengan produk dengan negara lain sebab faktanya produk-produk
ekspor andalan negara anggota AFTA secara umum lebih bersifat ‘subtitutif’
daripada ‘komplementer’, dalam arti produk-produk yang dihasilkan cenderung
serupa sehingga sulit diharapkan agar masing-masing anggota dapat menyerap
produk mereka satu sama lain dan juga memiliki nila tambah yang lebih tinggi.
Bahkan di pasar produk-produk mereka akan bersaing dan dapat mematikan produk
yang tidak unggul secara komparatif. Sehingga menyebabkan banyak tejadi PHK dan
angka pengangguran naik dikarenakan ketidakmampuan perusahaan dalam membayar
upah tenaga kerja hal ini menyebabkan
penawaran tenaga kerja mengalami penurunan.
Table 1
Indeks Keunggulan Komparatif Produk
Negara ASEAN
Hal ini dibuktikan dengan Tabel 1 menunjukkan Index
keunggulan komparatif produk ekspor andalan anggota-anggota ASEAN yang
dinyatakan dalam skema CEPT. Dalam tabel tampak bahwa Indonesia tidak cukup
dominan dalam hal keunggulan komparatif produk-produk ekspornya, bahkan
dibandingkan dengan Kamboja yang terhitung sebagai pemain baru dalam transaksi
perdagangan regional. Dari seluruh produk unggulan, hanya produk kayu lapis dan
plywood yang tidak tersaingi oleh anggota lainnya dengan index 37, disusul kemudian oleh produk karet alam dimana Indonesia
hanya menduduki tempat ketiga setelah Kamboja dan Thailand. Prestasi
peningkatan volume ekspor Indonesia pada tahun 2000 seperti diuraikan di atas
tiada lain lebih merupakan hasil transaksi perdagangan Indonesia dengan pihak
di luar ASEAN, khususnya dengan Jepang dan Amerika Serikat. Sementara itu,
dalam transaksi perdagangan di kawasan, sepertinya Indonesia tidak bisa
berharap terlalu banyak. Terlebih jika mengingat bahwa produk kayu lapis dan
plywood berbahan dasar kayu hutan, dan bukan rahasia lagi bahwa luas hutan di
Indonesia mengalami penyusutan yang sangat drastis dari tahun ke tahun. Dengan
kata lain, secara ekonomi produk tersebut tidak akan dapat dijadikan produk
andalan dalam jangka menengah apalagi jangka panjang, mengingat semakin
langkanya bahan baku kayu.
Seperti
terlihat pada tabel, dari seluruh anggota AFTA hanya Singapura yang relatif
memiliki produk unggulan berbeda, yaitu di sektor-sektor menyangkut penggunaan
teknologi elektronik dan informatika, sisanya lebih menekankan pada pertanian
dan hasil alam. Pertanyaanya kemudian adalah, bagaimana agar di dalam
pelaksanaan AFTA negara anggota yang kurang memiliki variasi produk unggulan
tidak tenggelam dalam persaingan, dimana hal tersebut akan bertentangan dengan
tujuan awal dibentuknya organisasi ini. Tantangan inilah diantara yang harus
dijawab oleh AFTA dan anggota-anggotanya, khususnya Indonesia. Apabila
pemerintah mampu memecahkan persoalan ini dan dapat secara jeli memetakan dan
kemudian memanfaatkan pasar regional ASEAN yang saat ini mencapai lebih dari
setengah milyar jiwa, terdapat dua peluang besar terbuka bagi Indonesia terkait
dengan perdagangan, yaitu kesempatan untuk fully-recovered
pasca krisis ekonomi; dan yang kedua adalah kesempatan untuk memacu pertumbuhan
ekonomi yang stabil dan signifikan sebagaimana yang terjadi pada periode tahun
1970an hingga menjelang krisis ekonomi 1997.
Dengan pernyataan lain, dapat
dikatakan bahwa AFTA dapat memberikan pengaruh
yang positif dan menguntungkan bagi Indonesia, jika terdapat sinergi kerja
sama yang baik dan penuh antara para pengusaha dan pemerintah Indonesia. Sebab,
kerja sama dalam menemukan solusi yang jelas bagi para pengusaha di Indonesia
akan membantu Indonesia dalam menghadapi pasar bebas jenis apapun yang
diberlakukan yakni sebagian kecilnya adalah pemerintah memberikan modal bagi peningkatan kualitas
produksi dan standar mutu barang. Sehingga, Indonesia pun dapat bersaing dalam peningkatan kualitas barang
produksinya dengan produk-produk lain yang masuk ke pasar dalam negeri maupun
luar negeri region ASEAN.
Referensi :
Tidak ada komentar :
Posting Komentar